Pupus


Sambaran petir yang samar. Mendungnya langit. Akankah turun hujan? Inginkah kau disini bersamaku?

1.00a.m
Jam menunjukkan pukul 1 tepat, sudah melampaui waktu lewat tengah malam, dan diri ini masih disibukkan dengan rentetan tugas yang menanti, memeriksa beberapa lembar jawaban post-test yang menjadi tanggung jawab bersama. Bukan, bukannya menghitung-hitung amal pekerjaan, cuma tugas ini sudah menjadi tanggung jawab panitia bersama.
Suara petir masih bersahut-sahutan, mengelegar diluar sana, entah kenapa cuaca hari ini begitu terasa amat panas, namun hujan tak kunjung turun, bahkan dijam yang menandakan pergantian hari, hujan tak kunjung datang menyapa.
Mungkin, ini kesekian kalinya aku melihat guratan kecewa yang teramat dalam ditutupi dengan senyuman, canda-tawa. Hari ini mungkin hari yang terberat untuk kesekian kalinya luka itu kembali di goreskan, setiap aku ingin mencegah luka itu digoreskan, sisi lain angkat bicara. Jangan, jangan kau hentikan kebahagian yang ia ciptakan, hanya dengan seperti ini kau tetap bisa melihat rona bahagia itu terpancar. Sekali lagi aku kalah dengan sisi itu, sekali lagi bagian lain terluka, sekali lagi bagian lain dikecewakan, sekali lagi aku hanya dapat tersenyum miris, memasang kembali topeng “Aku Bahagia, dan Aku Baik-baik saja”.
Aku sendiri yang memilih alur cerita yang ini, maka aku pula-lah yang bertanggung jawab seutuhnya atas kisah yang aku pilih. Cukup terluka, cukup menderita, bahkan cukup dikecewakan, namun apalah daya? Aku hanyalah sang narrator dan penikmat cerita, aku bukan pemain, aku juga bukan pemeran dalam kisah dan alur yang ini. Harusnya aku sadar, mungkin tanda yang diberikan itu mengingatkan aku untuk ambil langkah mundur dan kembali ke titik aman. Namun, apalah daya? Seperti medan perang dalam papan catur, mana ada bidak yang bisa kembali melangkah mundur setelah melangkah. Aku bukan kuda yang dapat berjalan dengan letter-L nya, aku bukan benteng yang kuat bertahan lurus ke depan, aku juga bukan pasukan gajah yang dapat berjalan sejajar anak tangga, dan aku bukan ratu yang dapat berjalan semau ku, seingin ku dengan arah dan cara yang ku mau.
Cerita ini masih berlanjut, dan aku sendiri tak pernah tau di lembar keberapa aku berubah menjadi buih. Mungkin saja suatu hari nanti perpisahan itu datang, musim saja datang dan berputar silih berganti, walaupun sedikit ragu aku akan berjalan, berjalan bersama denganmu hanya itu yang tidak akan pernah berubah.

Ku beri nama dengan fana
Menari, bercanda, bercerita lalu tertawa
Tak tersentuh dengan apa yang aku punya
Ku beri nama dengan fana
Dongeng jatuh hati secara diam-diam
Yang bagian akhirnya kau bahagia
Aku tewas dicambuk tepat didada
-Ari Ryantama-

Detik ini aku belajar banyak dari sebuah kesunyian, bagaimana menyimpan sendiri hal-hal yang orang lain susah mengerti. Mungkin kau boleh berpikir aku penuh akan teka-teki, tetapi memang itulah satu-satunya cara agar ketika aku kecewa, aku tak akan menyalahkan siapa-siapa. Tidak dirimu, dia, kau, ataupun mereka.
Ternyata benar apa yang kuduga, aku tetaplah bayangan ilusi, bersifat maya, yang hidup dalam dunia fantasi yang kau miliki. Tak pernah sekalipun dianggap nyata, berwujud, sadar penuh dengan kehadiran yang utuh.
Aku hanyalah bubuk Floo yang seketika ditiup menghilang pergi bersamaan dengan tempat yang ingin kau tuju. Tidak, kali ini tidak akan kuteruskan, biarkan semua mengalir apa adanya, bukankah ini pilihan yang aku mau untuk meruntuhkan segala rasa yang tersembunyi?
Biar, biar rinai rintik hujan membasahi bumi, menghapus segala nestapa yang terjadi hari kemarin. Sekali lagi aku kuatkan, aku masih bisa berdiri tegak, semua rasa itu luruh bersama dengan jatuhnya hujan yang kian deras malam ini.

Comments

Popular posts from this blog

Lembaran makna dalam Kimi No Nawa

Interwined

Bias Ombak