7.424
7.424
Jakarta,
tulisan ini dituliskan ditengah kesibukan kota metropolitan dan ditengah kegiatan yang padat.
tulisan ini dituliskan ditengah kesibukan kota metropolitan dan ditengah kegiatan yang padat.
Sabtu
Kelabu,-
24.03.18
11.00
p.m
Sebenarnya
kisah kelabu ini dimulai di lembar ke-7.423, tepat diangka 23, angka yang
seharusnya menjadi angka istimewa bagiku, menjadi angka yang benar-benar
kelabu. Malam itu, detik itu, feeling ku tak pernah berbohong akan keadaan,
terbiasa membaca keadaan membuat ku yakin seratus persen ada yang salah dengan
kisah yang ini. Aku memang lembaran yang disembunyikan dan aku menyadarinya,
sangat menyadarinya. Namun, kau tau malam itu kenyataan pahit membawa sejuta
mendung dan langit kelabu kembali kepadaku, setelah aku sempat berfikir
menemukan navigator yang tepat. Dari mana harus kumulai cerita ini? Entahlah,
aku kacau-total hingga hari esoknya, bukannya aku tak dapat menangis detik itu
juga, namun semua hal yang ada LURUH terbawa kesedihan yang membawa pergi semua
rasa. Setelah semua ketidakpahaman ini berlangsung, entah apa yang membawa ku
kembali menangis dalam mimpi.
22.00,-
Detik
itu, menit kesekian, dan jam itu. Aku mendapat kabar, kabar penting nan
genting, setelah dering menyambungkan, disambut diujung sana. Dari jarak
ratusan kilometer, aku mendengar suaranya dengan jelas, suara yang taka sing
bagiku, suara yang sangat ku kenal, walau aku yakin masih banyak yang
disembunyikan dan tersembunyi dibalik diam dan heningnya.
“Assalamualaikum” hening tak perlu ku jawab dengan nyaring, aku statis detik itu, diam dan hanya menanti detik kesekian hal penting apa yang ia maksud. Feelingku berkata ini tidak beres, dan ini tidak benar, namun aku menolaknya, sekali lagi aku menolak sebuah kebenaran, berkutat kembali pada realita. “Suaraku jelaskan?” “Mmm..” hanya was was tak menentu, menanti kata-kata selanjutnya yang akan dikatakannya “Jadi gimana?” “Apanya yang gimana? Coba dijelasin satu-satu, aku salah apa? Aku minta maaf kalo punya salah” Terdengar backsound penyanyi dibelakangnya, semakin nyaring, membuat suaranya semakin samar terdengar, bahkan kecemasan dan kekhawatiran yang menghantuiku telah sampai di puncaknya. “Iya, aku juga bingung mau dimulai dari mana, suaraku jelas ga? Suaramu jauh , gak kedengaran coba volumenya dinaikin”. Mungkin kau tak pernah merasakan kekhawatiran dan kecemasan seperti yang aku rasakan, kau hanyalah bagian dari dirimu dan kisahmu, sementara aku hanyalah lembaran yang kau sembunyikan dan detik itu, tepat kau ingin mengurungkannya sedalam-kedalaman palung laut mariana. “Pindah tempat, suaranya gak kedengaran, Rame banget, berisik” “Kalo sekitar jam 11.00 nanti telpon lagi, bisa kan? Masih bangun kan?” Aku hening didetik kesekian, hanya dapat menjawab semampuku dengan energi yang masih tersisa, ditengah kekacauan dan carut-marut hari itu, cukup membuatku berantakan dalam sekejap. “Oke, jam 11” “Iya, aku minta maaf ya sebelumnya, Assalamualaikum-“ sambungan terputus.
“Assalamualaikum” hening tak perlu ku jawab dengan nyaring, aku statis detik itu, diam dan hanya menanti detik kesekian hal penting apa yang ia maksud. Feelingku berkata ini tidak beres, dan ini tidak benar, namun aku menolaknya, sekali lagi aku menolak sebuah kebenaran, berkutat kembali pada realita. “Suaraku jelaskan?” “Mmm..” hanya was was tak menentu, menanti kata-kata selanjutnya yang akan dikatakannya “Jadi gimana?” “Apanya yang gimana? Coba dijelasin satu-satu, aku salah apa? Aku minta maaf kalo punya salah” Terdengar backsound penyanyi dibelakangnya, semakin nyaring, membuat suaranya semakin samar terdengar, bahkan kecemasan dan kekhawatiran yang menghantuiku telah sampai di puncaknya. “Iya, aku juga bingung mau dimulai dari mana, suaraku jelas ga? Suaramu jauh , gak kedengaran coba volumenya dinaikin”. Mungkin kau tak pernah merasakan kekhawatiran dan kecemasan seperti yang aku rasakan, kau hanyalah bagian dari dirimu dan kisahmu, sementara aku hanyalah lembaran yang kau sembunyikan dan detik itu, tepat kau ingin mengurungkannya sedalam-kedalaman palung laut mariana. “Pindah tempat, suaranya gak kedengaran, Rame banget, berisik” “Kalo sekitar jam 11.00 nanti telpon lagi, bisa kan? Masih bangun kan?” Aku hening didetik kesekian, hanya dapat menjawab semampuku dengan energi yang masih tersisa, ditengah kekacauan dan carut-marut hari itu, cukup membuatku berantakan dalam sekejap. “Oke, jam 11” “Iya, aku minta maaf ya sebelumnya, Assalamualaikum-“ sambungan terputus.
Detik
itu seakan waktu berjalan merangkak, begitu lama menit-demi menit berlalu,
omongkosong dengan kata maaf, sudah dapat dipastikan, ada makna kelabu dibalik
kata maaf yang diucapkan, ada sebuah tanda tanda tanya penuh teka-teki dibalik
kata maaf yang diucapkan tanpa alasan yang pasti, dan tanpa sebuah kesalahan
yang entah itu apa.
23.00
Sambungan
telpon kembali disambut diujung sana, dengan suara yang masih dan sangat
kukenal menyambut sapa disana. Lemah, suaranya kian terdengar lemah dan nada
keraguan dan kebingungan juga tersirat disana.
“Assalamualaikum”
hening, aku terdiam detik itu dan yang diujung sana juga terdiam. “Suaraku
jelas?” “Jelas, jelas sangat” “Jadi gimana kumpul SA-nya tadi?” Omongkosong
mengalihkan pembicaraan seperti ini, aku tak butuh basa-basi ini semua, aku
hanya butuh kejelasan dan penjelasan yang detail darimu. “Iya, gampanglah soal
SA mah, nanti aku jelasin, ada sedikit re-schedule dari jadwal awal, agak
sedikit kecewa sih tapi yah gimana lagi?” sekali lagi aku berusaha bersikap
seperti biasanya, seakan tak ada hal salah yang terjadi, seakan aku tak
khawatir, seakan aku tetap menjadi diriku yang ceria, riang, dan penuh tawa
bahkan didetik yang krusial seperti itu. Padahal semua itu dilakukan hanya
untuk menutupi ketakutan ku yang paling dalam, serta kekhawatiran ku yang telah
sampaoi di puncaknya.
Setelah
penjelasan panjang ada dua point penting disana, evolusi-perubahan, serta jarak
dan spasi yang dibutuhkan. Entah apa yang membuatmu berpikir seperti itu,
apakah lingkungan atau memang kesadaran diri, yang jelas detik itu hingga esok
dan esoknya aku masih kacau dan hancur. Bagaimana tidak? Detik itu aku
kehilangan saudara, detik itu seakan gendrang perang dibunyikan, detik itu
seakan tembok tabal china dibangun dan membentang, detik itu juga aku
kehilanagn navigator, detik itu juga aku layaknya kaca yang hancur
berkeping-keping. Padahal aku menganggapmu seutuhnya saudara, dan kakakku
sendiri, tapi kenapa? Aku salah apa? Setelah ini aku harus seperti apa? Omong kosong
semua perkataan kita butuh waktu, waktu memang bisa berbaik hati kepada
kesedihan, hanya dengan satu cara, menyibukkan diri.
Tidak
bisakah aku tetap menyupport mu sebagai keluarga? Tidak bisakah kau tetap
menjadi navigator didepan sana? Tidak, aku tidak butuh komunikasi perhari dan
sesering mungkin, aku hanya perlu paham dan tau keadaan yang ada. Jujur, aku
tidak dapat meninggalkan mu dalam keadaan terpuruk seperti ini, kita tau dan
sama-sama tau, jika kita sama-sama menyembunyikan luka dan sayatan yang kian
hari kian dalam, tapi tidak bisakah kita
bersikap sewajarnya, kembali menyupport layaknya keluarga?
Aku mohon,-
Detik
itu aku luruh,, kacau, carut-marut tak menentu.
Detik
itu aku tertawa, namun tertawa bohong
Aku egois?
Sebut saja begitu, bahkan aku masih berpura-pura tidak terluka disaat semua
sudah jelas dan sadar luka itu makin dalam goresannya, sakit tak berdarah,
inilah jenis luka terbaru yang kutemukan di tahun 2018.
Maret,
2018 pekan terakhir, minggu kelabu.
Comments
Post a Comment