Hening
Sang mentari kini tak lagi menampakkan cahayanya, langit hitam kian berarak
menutupi peraduan langit luas. Perlahan
tapi pasti proses kondensasi terjadi, sekian banyak orang berlalu-lalang
menyadari perubahan cuaca yang begitu cepat, beberapa berlari, berdesakan,
berjalan cepat, dan kini cuaca mengajak kita untuk berdamai, merasakan hawa
sejuk disertai semilir angin nan lembut, sementara hawa dingin yang datang sebagai pertanda sang
butir lembut itu akan segera membasahi bumi. Hawa seperti ini sering dirasakan
bagi setiap orang yang tinggal di daerah lembah pegunungan ataupun dataran
tinggi, aku menjulukinya sebagai “Hujan Ketinggian” dikarenakan butir lembut
yang terasa begitu ringan dan tanpa suara membuat suasana bertambah hening.
Entah sejak kapan kusadari
jika aku semakin mengagumi hujan dengan segala ‘aturan’nya yang ada! Dan tanpa
kusadari dirinya berlalu dengan anggun tanpa keraguan dan penuh kepastian,
semakin jauh ia melangkah, semakin masuk kedalam kerumunan, ditengah keramaian,
bersama sekian banyak manusia yang berlalu-lalang, hingga ia menghilang, tak
terlihat, dan yang kudapati hanyalah bayangannya diujung jalan yang perlahan pergi,
aku yakin ia berlalu didepanku tepat, dan akupun tak sedang bermimpi atau berkhayal. Kalau, waktu dapat ku putar
ulang mungkin aku ingin mengulang beberapa waktu yang lalu atau bahkan aku akan
menghentikan langkahnya yang pergi berlalu. Namun, apa daya semua itu adalah
wujud kemustahilan dan aku? Aku masih sendiri duduk ditepian kursi memandang
jalan yang mulai penuh sesak oleh orang yang berlalu-lalang menggunakan payung
dan terkadang aku harus menerima kenyataan pahit, jika aku hanya sendiri seraya
yang lain berlalu pergi.
Dalam rintik hujan, ku temukan ketenangan.
Dalam semilir angin, ku dapati kesejukan.
Dalam waktu yang bergulir, ku dapati dirinya berlalu pergi, jauh, hingga
menghilang diujung jalan yang tak bertepi.
Rintik hujan masih setia membasahi bumi, hingga waktu malam tiba, butir
lembut itu tak kunjung berhenti, masih tetap setia menemani malam ditengah
gulitanya tanpa pelita, aku berjalan menuju suatu tempat yang telah
kurencanakan, dan kali ini aku melihatnya kembali, kali ini tepat disebrangku,
ia duduk termenung, memikirkan sesuatu yang entah itu apa, tak mungkin aku
menebak atau menerkanya, bahkan dirinya tak menyadari kedatanganku yang datang
menghampiri. Tak ku lihat senyum simpul yang biasa menghiasi ujung bibirnya
yang tipis, senyum itu seakan sirna darinya, ia terdiam duduk terpaku,
sementara angin berhembus kian kencang dan menerbangkan beberapa hal yang ada
didepannya, sementara sang kilat dan petir kian bersahut-sahutan dan dalam
hitungan detik hujan turun dengan derasnya
Kenapa senyum simpulmu menghilang?
Apa karena sang surya tak kunjung menampakkan sinarnya?
Mengapa kau diam dan termenung? Apa karena kau dalam bimbang dan masalah
datang mengguncang?
Mengapa kau diam saja? Padahal sorot matamu jelas berbicara
Kenapa kau sembunyikan semua itu? Padahal dalam diammu terdapat ribuan
makna yang tak terkira
Mengapa kau begitu gundah gulana dalam gelap gulita malam tanpa pelita?
Apa kau akan terus membiarkan kami disini menerka dan berspekulasi dengan
kemungkinan-kemungkinan yang terus bermunculan?
Seakan mengerti atas segala pertanyaan yang mucul dibenakku hingga ia mulai
berbicara sementara aku semakin menerawang, menerka, mencoba menyelami setiap
perkataan yang ia katakan hingga, tiba pada satu kalimat yang menjelaskan
segala keadaannya
“Belum tentu semua niat dan hal baik yang kita lakukan itu dianggap baik
oleh semua orang, mungkin, pandangan kita itu baik buat mereka, tapi jangan
sangka, dibalik itu semua pasti banyak prasangka buruk yang akan datang
menghampirimu”
Aku menelaah, mencoba meresapi pelajaran hidup dari perkataannya kali ini,
dirinya yang bersahaja dan penuh kehangatan kini dalam pilu dan bimbang, memang
skenario kehidupan tak dapat diterka, orang berniat baik bisa saja dianggap
musuh, sementara lawan bisa dianggap kawan, orang bertopeng dianggap teman,
atau malah sahabat karib, susah memang, sulit? Tentu!
Namun, aku tau, dirinya pasti dapat melewati segala halang rintang seperti
ini, dirinya itu kuat dengan segala kegigihan disertai jiwa yang penuh
kelembutan, optimis, dan dirinya bukanlah orang yang gampang terjatuh tanpa
dapat bangkit kembali, tak mengenal kata pesimis dalam kamus kehidupannya,
seperti yang pernah ia bilang sebelumnya
“ Lebih baik kita berjalan dengan lambat namun penuh dengan kepastian
daripada kita berlari ditempat tanpa ada kemajuan”
Aku tau dirinya dalam keguncangan dengan pilu yang menerjang, dirinya
terlihat lelah, mungkin karena tugas yang menanti, dirinya terlihat letih,
mungkin karena beban yang ia pikul, namun, tak kunjung kudengar ia mengeluh,
walau senyum simpul itu kini berganti menjadi senyum datar, walau kehangatan
dan kelembutan itu berganti menjadi kaku dan dingin, mungkin dirinya
membutuhkan waktu sejenak, hening, tanpa gangguan, dan hambatan.
Sejenak hening,-
Mendengarkan lebih luas, lebih jauh, lebih dalam
Bahkan kali ini aku melawan arus gelombang interval dan longitudinal
Biarkan, dan Biarlah,-
Dunia dan pikiran berkecamuk
Menyatu dalam ironi kesedihan yang menerpa dunia
Dalam hening ku dengar dirinya berbicara,
Dalam diam kudengar dirinya mengadu
Dalam sepi kulihat dirinya bermunajat kepada Dia Yang Maha Kuasa
Dalam senyap ku tau dirinya tengah menyampaikan
Aku beranjak pergi,
meninggalkannya seorang diri, walau tak banyak yang ia katakan namun sebuah
ungkapan sudah cukup mengungkap segala hal yang ditutupinya selama ini. Aku tau
segala hal itu akan berubah seiring berjalannya waktu, berusaha sekuat tenaga
untuk tetap bertahan, berdiri tegar walau bahkan dalam langkah yang tertatih
dan terseok, berusaha berjalan melangkah maju kedepan.
Hanya satu harapan yang ada semoga
senyum simpul itu dapat kembali ketempatnya, tetap dalam kehangatan yang ia
berikan kepada sesama dengan segala kelembutan dan kegigihan yang ia miliki.
Semoga,-
Comments
Post a Comment