Titip Rindu Buat Ayah

Key-A

“Bila masih mungkin, kita menorehkan batin. Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas, mumpung masih ada, kesempatan buat kita, mengumpulkan bekal perjalanan abadi… (Ooo..Dududu..) Kita pasti ingat, tragedi yang memilukan, kenapa harus mereka yang terpilih menghadap, tentu ada hikmah yang harus kita petik, atas nama jiwa mari heningkan cipta”-Masih ada waktu
Alunan lagu Ebiet G Ade melantun lemah di ujung sana, membawa serta diriku kepada bayangan rumah, ayah dan ribuan kenangan bersamanya. Bahkan hingga bulan kelima sejak kepergiannya kembali kepada sang pencipta, aku masih seperti di antarkan pada bayangan realita yang seakan tak nyata. Berharap mendengar kembali suaranya, sapaannya yang selalu lucu, walau ku tau ayahku bukan orang yang humoris, karena humornya hanya dapat dipahami oleh kami-keluarga kecilnya. Biar aku sampaikan rinduku sejenak dalam tulisan ini, karena ku tau gelombang transimisi, berpilin di udara tak akan bisa menyampaikan salamku kepadanya, hanya doa yang bisa ku sampaikan kepadanya melalui pengiriman pesan kilat, menembus langit, dan tiba didimensi yang berbeda. Tak banyak kenangan yang ku habiskan bersamanya sejak aku dan kakakku memilih masuk ke sekolah bersistem pesantren di daerah Jawa Timur. Sementara, mama dan ayahku berdomisili di Kalimantan dan kami hanya dapat bersua setahun sekali di bulan Ramadhan. Namun, bukan berarti berjauhan tak mengukir kenangan, aku menghabiskan waktu paling lama bersama kedua orangtua ku ketika kakak ku telah lebih dulu mendaftar ke sekolah di Jawa. 3 tahun sendiri, membuatku merasakan layaknya anak tunggal dirumah. Ayahku seorang pemikir kritis, serta logis yang tak pernah habis memunculkan pertanyaan dikepalaku, sangat ahli dalam bahasa inggris dengan tingkatan advanced  dan mahir pelajaran MIPA. Jelas, matematika dan bahasa inggris adalah makanannya setiap hari sepanjang menyelesaikan sekolahnya di STM Penerbangan Bandung. Sejak kecil ayahku mengenalkanku kepada bahasa inggris dan itu yang menjadi alasan ku menyukai bahasa inggris terlebih British Accent . Ayahku kerap memutar lagu-lagu lawas dirumah, dan dimobil, lagu yang katanya ngetrend di jaman baheula, jadi tak heran otakku yang cepat menyerap nada dan lirik cepat juga beradaptasi dan menghapalnya. Meski kita semua tau suara sumbangnya tak benar-benar sampai asli di nada sang penyanyi, ayah tetap pede dengan suara merdu tercekat batu berlagak menirukan sang penyanyi asli dan diakhiri dengan protes sana-sini dari mama dan aku yang kerap membenarkan nada dan liriknya. Namun, bukan ayah Mahmudi kalo tak dapat memenangkan perdebatan kecil seperti ini, argumen kami kerap dipatahkan oleh statement nya yang sering berujung pada jalan buntu. Ayah, ayah sang Tuan Rumah yang sampai akhir hayatnya tetap menjadi satu-satunya Raja dirumah. Ayah selalu bangga dengan posisi Raja tunggalnya dirumah, karena kata beliau, ayah beruntung dikelilingi tiga bidadari yang tak terganti. Ayah ku tak pernah berlebihan dalam memuji prestasi yang kami raih, dan terkadang itu pula yang membentuk ku menjadi anak yang maniak nilai tinggi, prestasi dan  pencapaian. Karena, sepanjang hidupku bersamanya ayah tak pernah membanggakan apapun dari prestasi-prestasi yang kudapatkan. Segala macam perlombaan yang ku menangkan tak pernah satu pun kata –Ayah Bangga- terucap darinya, ayah hanya akan berkata “Selamat! Atas prestasimu dan tingkatkan lagi, atau kembali berkomentar tadi kamu kurang di tekhnik ini dan ini dan itu.” Mungkin untuk anak usia SD dengan emosi labil kata-kata itu layaknya mendapatkan cambuk kecaman untuk terus saja berprestasi dan kau belum hebat jika belum mendapat reward dari ayahmu. Yang dikemudian hari aku mengenal istilah manusia diatas awan- mungkin ayah tak ingin menjadikan ku manusia diatas awan dengan pujian yang diberi, karena jika ayah memujiku atas prestasi yang kuraih, aku bisa berhenti dan tak melanjutkan evaluasi  yang seharusnya kudapati dari pengalaman yang telah lalu.
Ayah memimpin rumah dan membesarkan kami dengan sistem berdemokrasi, setiap orang punya hak dalam memilih mimpinya dan mewujudkan masa depannya. Hingga, pernah satu kejadian dimana aku sangat ingin mengikuti ajang pencarían bakat di TV ayah melarangku, ayah berkata ayah tak ingin gadis kecilnya masuk kedalam lingkaran dunia entertainment.
“Novi boleh punya mimpi jadi Diplomat, Menlu, atau terjun didunia berkancah internasional tapi tidak dalam jalur entertain! Ayah nggak sanggup kalo nanti di minta pertanggung jawabannya karena tidak bisa menjaga anak perempuannya”.
Detik itu aku terpukul, baru kali ini sistem demokrasi dirumah dilanggar oleh ayah, mama hanya dapat membesarkan hatiku dan berkata “Anak itu kayak anak panah Nov, mama sama ayah itu cuman punya busur nya, kita mengarahkan ke target tapi tetap kamu yang melesat. Coba diserap dulu kata-kata ayah, itu semua ada benarnya”. Detik itu mungkin aku tak sadar akan makna yang tersimpan dibalik nasehatnya, namun dikemudian hari aku bersyukur ayah melarangku detik itu, dan tidak mematikan mimpiku yang lainnya.
Ayah, terimakasih untuk segala dedikasi dan edukasi yang kau berikan sepanjang hidupmu. Aku tak pernah menyesal menjadi anakmu, aku bangga punya ayah sepertimu, terimakasih telah menjadi suri teladan kami sepanjang kami hidup, tak ada manusia yang sempurna begitu pula kau, aku, mama, dan kakak. Untuk pesan yang tak tersampaikan dan belum terucap,maafkan aku atas kesalahan ku yang telah lalu, dan semoga kami bisa mewujudkan mimpi kami, membanggakan mama atas prestasi yang dapat kami raih.

Akhir kata dipenghujung purnama kesepuluh, ku sampaikan pada mu ayah: Aku merindukanmu.

Comments

Popular posts from this blog

Lembaran makna dalam Kimi No Nawa

Interwined

Bias Ombak